dannypomanto.com – Timor Timur (Timtim) yang kini telah merdeka dan menjadi negara sendiri bernama Timor Leste sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Pisahnya provinsi ke-27 dari pangkuan Ibu Pertiwi masih meninggalkan luka yang mendalam bagi masyarakat setempat dan prajurit TNI-Polri yang pernah bertugas di sana. Terutama bagi keluarga mereka yang gugur saat Timtim memisahkan diri dari NKRI.
Letjen TNI (Purn) J. Suryo Prabowo, mantan Wakil Gubernur Timtim, menjadi saksi sejarah peristiwa mencekam yang terjadi di daerah tersebut menjelang dan sesudah referendum. Aksi penculikan, perusakan, penembakan, hingga pembunuhan antara kedua kubu yang berseberangan, yakni pro integrasi Indonesia dan pro kemerdekaan yang didukung Falintil, hampir setiap hari meresahkan kehidupan di Timtim.
Situasi semakin memanas karena ketidakmampuan Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan TNI-Polri dalam memberikan jaminan keamanan, ditambah kehadiran United Nations Assessment Mission on East Timor (UNAMET) yang tidak netral dan cenderung berpihak pada kubu pro kemerdekaan. Hal ini membuat situasi semakin tidak kondusif.
Di tengah euforia Reformasi yang sedang melanda Indonesia, Presiden BJ Habibie memutuskan untuk memberikan opsi referendum kepada rakyat Timtim, dengan tujuan agar Timtim tidak lagi menjadi beban bagi Indonesia. Keputusan ini diumumkan saat BJ Habibie menghadiri acara Munas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) pada 11 Februari 1999.
Setelah keputusan Presiden tersebut, UNAMET mulai mempersiapkan pemungutan suara yang direncanakan pada 8 Agustus 1999. Namun sebelumnya, situasi di Timtim semakin memanas karena kedua kubu saling bersiap menghadapi referendum, sementara pemerintah Indonesia dan aparat keamanan TNI-Polri belum siap menghadapi situasi tersebut.