Dannypomanto.com – JAKARTA – Komisi Yudisial (KY) diminta mengawasi proses permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang digunakan diajukan oleh mantan Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara lalu Reformasi Birokrasi (PANRB), Alex Denni. Alex Denni, yang juga pernah menjabat di area Kementerian BUMN juga berbagai perusahaan BUMN, hingga pada saat ini masih mengantisipasi perbuatan lanjut berhadapan dengan berkas PK-nya.
Perhimpunan Bantuan Hukum juga Hak Asasi Individu Indonesia (PBHI) telah dilakukan mengajukan permintaan pengawasan untuk KY melalui surat resmi yang mana ditujukan terhadap Ketua KY Amzulian Rifai pada Selasa (6/2/2025) lalu. PBHI menyoroti dugaan pelambatan proses hukum pada perkara ini, teristimewa sebab berkas perkara yang mana sudah dikirimkan dua kali ke Kepaniteraan Mahkamah Agung (MA) belum diterima kemudian belum mendapatkan nomor register.
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani, mengungkapkan bahwa berdasarkan pedoman MA, Panitera harus segera mengirimkan berkas perkara PK ke MA pada waktu 30 hari pasca pemeriksaan persidangan selesai. Namun, Alex Denni yang mana telah lama menjalani delapan bulan dari vonis satu tahun penjara, masih belum mendapatkan kepastian melawan PK yang digunakan diajukannya melalui Pengadilan Negeri (PN) Bandung sejak 12 Desember 2024.
Julius menegaskan bahwa berkas PK yang dimaksud belum diterima di tempat Kepaniteraan MA merupakan bentuk undue delay atau pelambatan proses hukum yang tersebut melanggar prinsip peradilan cepat, sederhana, juga berbiaya ringan sebagaimana diatur di Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Selain itu, absennya informasi perkara ini pada Sistem Data Penelusuran Perkara (SIPP) MA dan juga minimnya transparansi terhadap kuasa hukum maupun umum semakin menguatkan dugaan adanya ketidakadilan pada penanganan persoalan hukum ini.
“Keadaan ini menyebabkan ketidakadilan dan juga ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan,” ujar Julius pada keterangannya, Rabu (12/2/2025).
Untuk itu, PBHI mendesak KY agar segera melakukan pengawasan terhadap MA dan juga memanggil juga memeriksa pihak Pengadilan Negeri Bandung terkait keterlambatan pengiriman berkas perkara ini. PBHI juga memohonkan KY untuk mempublikasikan hasil pemeriksaan guna meyakinkan keterbukaan informasi publik.
Selain dugaan pelambatan proses hukum, PBHI juga menemukan banyak kejanggalan sejak awal penanganan perkara Alex Denni. Salah satunya adalah tidaklah dipublikasikannya putusan perkara ini di dalam semua tingkatan peradilan, mulai dari pengadilan pertama, banding, hingga kasasi. Kejanggalan ini juga terjadi pada perkara dua pejabat PT Telkom Indonesia Tbk, Agus Utoyo serta Tengku Hedi Safinah, yang dimaksud terkait dengan persoalan hukum Alex Denni.
Hasil pemeriksaan PBHI menunjukkan bahwa Alex Denni tak pernah menerima Relaas Pemberitahuan Putusan Kasasi dari MA sejak eksekusi pada Juli 2024 hingga ketika ini. Bahkan, bukan ada dokumen terkait pemberitahuan putusan yang dimaksud baik pada MA maupun dalam PN Bandung. Julius menegaskan bahwa eksekusi putusan tanpa pemberitahuan yang mana sah harus dinyatakan batal demi hukum dikarenakan melanggar prosedur hukum acara pidana.
Lebih lanjut, ditemukan inkonsistensi pada dokumen putusan kasasi Alex Denni, termasuk ketidaksesuaian antara tanggal putusan dengan tanggal penandatanganan oleh majelis hakim. Hakim Ad Hoc Tipikor, H. Hamrad Hamid, yang mana tercatat sebagai salah satu penandatangan, diketahui telah dilakukan meninggal dunia sebelum putusan ditandatangani.
“Kejanggalan ini menunjukkan adanya indikasi rekayasa putusan lalu disparitas pada penanganan perkara yang digunakan serupa,” tegas Julius.
Dengan berbagai temuan ini, PBHI menegaskan perlunya pengawasan ketat dari KY agar keadilan dapat ditegakkan juga rakyat mendapatkan kepastian hukum pada perkara ini.











